Kamis, 25 Oktober 2012


PEGERAKAN MAHASISWA INDONESIA


Melihat sejarah bangsa Indonesia yang begitu kompleks dan panjang, maka tidak dapat dipungkiri bahwasanya gerakan kaum terpelajar atau yang biasa disebut gerakan mahasiswa merupakan salah satu elemen yang memiliki peranan penting dalam cer bangsaita sejarah bangsa ini baik sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, sebelum reformasi ataupun setelah reformasi yang tak jarang didalamnya terdapat letupan-letupan politik yang merupakan imbas dari pertarungan politik antar penguasa. Dalam banyak masalah politik, gerakan mahasiswa seringkali mendapat peran strategis, yang mana ikut menentukan keadaan kedepannya.
Gerakan mahasiswa di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Gerakan inipun selalu mengalami perubahan dari masa ke masa dalam hal pengkodisian terhadap perpolitikan Indonesia. Gerakan mahasiswa atau gerakan terpelajar di Indonesia dapat dibagi pada beberapa fase-fase yang ditandai dengan pergolakan politik yang sangat besar. Fase-fase tersebut antara lain :
1.         Gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan.
2.         Gerakan mahasiswa memperjuangkan kemerdekaan dan era orla hingga 1965.
3.         Gerakan mahasiswa era orba hingga reformasi 1998.
4.         Gerakan mahasiswa pasca reformasi hingga kini.
Berikut uraian singkat mengenai beberapa fase di atas :

1.Gerakan Mahasiswa Sebelum Kemerdekaan


Pada abad ke-18 seiring dengan dibagunnya sekolah-sekolah oleh belanda seiring pula dengan tumbuhnya gerakan kaum terpelajar di Indonesia. Selain lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah colonial belanda, ada juga beberapa model sekolah yang didirikan oleh bangsa sendiri seperti pada tahun 1904 didirikan sekolah R. Dewi Sartika yang pada awalnya bernama sekolah isteri yang kemudia berubah menjadi sekolah keutamaan isteri. Munculnya sekolah-sekolah yang dikelola oleh kaum perempuan juga menandai dimulainya gerakan perempuan di Indonesia. Beberapa organisasi perempuan mulai bermunculan dan semakin menjadi gerakan politik yang cukup penting dan semakin kuat dalam mengambil peran-peran strategis dalam gerakan-gerakan yang ada seperti SI, PKI, PNI dan PERMI.
Muncul dan berkembangnya sekolah-sekolah tersebuat mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial. Pada tahun 1906 sarikat priyayi dan disusul pada tahun 1908 berdiri budi utomo yang dimotori oleh beberapa tokoh seperti E Douwes Dekker dan Wahidin soediro Hoesodo dimana mereka merupakan mahasiswa dari STOVIA yang pada awal-awal berdirinya bertujuan untuk memajukan hindia. Awalnya budi utomo dalam pergerakannya dibatasi hanya mencakup pada daerah jawa dan Madura dan mengalami perkembangan meluas hingga seluruh hindia dan tidak terbatas keanggotaannya. Namun seiring dengan bertambah luasnya dukungan terhadap budi utomo seperti datang dari kalangan cendikiawan jawa, posisi pelajar didalam budi utomo semakin tergeser oleh generasi yang lebih tua hingga kongres budi utomo yang dibuka di Yogyakarta, pimpinan organisasi beralih pada kalangan-kalangan tua dan juga para priyayi rendahan. Budi utomo sendiri bergerak pada beberapa bidang seperti pendidikan dan budaya. Pasca kongres Yogyakarta budi utomo kembali membatasi wilayah geraknya hanya pada daerah jawa dan Madura dan tidak mau melibatkan diri pada dalam kegiatan politik.
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus  kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925. Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an. Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPP.

2. Gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan (orla) hingga 1965


Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka ! Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan. Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut maka  mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa. Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi Mahasiswa pada tahun 1945, Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 pada pukul sepuluh, Pembacaan Teks Proklamasi yang dibacakan Soekarno dan didampingi Bung Hatta di kediaman Soekano, Jalan Pegangsahan Timur 56 serta dilanjutkan oleh Pengibaran Bendera Merah-Putih di halaman rumah oleh Thudarjo Peta, Abdulatif Herdaningrat disambut dengan lagu Indonesia Raya oleh para hadirin, merupakan Tonggak awal perwujutan Revolusi Nasional.
Peran Kaum muda dalam pencutusan Proklamsi memng tidak bisa dimunafikan, Penyerahan Jepang atas Sekutu pada tanggal 14-15 Agustus 1945 telah di dengar oleh grup-grup pemuda dari berita lewat orang-orang yang bekerja di Domei (Kantor Berita Jepang) antara lain Adam malik dan Syahrir, pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 19.00 di Insitut Baktereologi Pegangsahan, kaum muda mengadakan pertemuan antara lain: Chairul Saleh, Wikana, Aidit, Djohar Nur, Pardjono, Abu Bakar, Soedewo, pertemuan tersebut mengambil sebuah kesimpulan ” Kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri harus dinyatakan dengan jalan Proklamasi ” dan hasil pertemuan tersebut akan disampaikan ke Soekarno – Hatta serta menolak semua hubungan ikatan-ikatan bahwa Kemerdekaan adalah pemberian hadiah atas janji-janji Jepang. Pada pukul 04.00 tanggal 16 agustus 1945, kaum muda mendelegasikan Dr Muwardi (Barisan Pelopor Istimewa) menjemput Soekarno, sedangkan Bung Hatta dijemput oleh Sukarni dan Jusuf Kanto dalam proses penjemputan tersebut kaum muda menjelaskan, keadaan di Jakarta sangat Genting, dimana Pemberontakan Kaum Muda yang didukung oleh tentara Heiho dan Peta sudah disiapkan, demi menjamin keselamatan mereka harus diamankan di Rengesdengklok (menurut Imam Soejono, Rengesdengklok merupakan Markas/Asrama Peta tjudan (kompi) di sebuah kota kecil, di rengesdengklok ini terdapat sebuah gerakan bawah tanah anggota-anggota pasukan Peta yang bernama “Sapu Mas” yang dipimpin oleh Shodanjo (komandan seksi/pleton) Umar Bhaksan.
Menjelang peristiwa ini sebenarnya sudah ada kontak antara Shodanjo Umar Bhaksan denga kekutan-kekutan bersenjata lain yang anti-jepang seperti Tjidan Inramayu dan Tjilamaya {sebelah timur Rengesdengklok} nuntuk mempersiapkan kekutan bersenjata melawan jepang) atas persetujuan kaum muda, utusan Maeda pergi ke Rengesdengklok untuk mengurus kepulangan Soekarno-Hatta ke Jakarta dan segera menuju ke rumah Maeda. pada larut malam Soekarno-Hatta sampai di rumah Maeda,disana panitia persipan sudah menunngu, dan sekitar jam tiga pagi teks Proklamasi yang telah disusun dengan formulasi dari Soekarno, diedarkan ke pada hadirin, dalam penyusunan teks itu menimbulkan masalah terutama perwakilan dari kaum muda, yaitu masalah siapa yang akan mendatangani teks proklamasi tersebut, Pimpinan kaum muda menolak teks tersebut ditantangani atas nama panitia persipan, karena, menurut pimpinan kaum muda, sekutu kan meng-cap Republik sebagai bikinan Jepang, dan akhirnya digunkan kata “Atas Nama Bangsa Indonesia” dengan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta. Patut menjadi sebuah catatan penting, Pembacaan teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, yang dipersipakan oleh kaum muda dan rakyat sejak tanggal 14-17 Agustus merupkan bukti sejrah bahwa “Bangsa ini menytakan pembentukan Republik Proklamasi bukan atas bikinin Jepang’ tapi merupakan hasil jerih payah kaum muda (yang terdidik serta revolusioner) dan Rakyat yang sadar atas kedaulatannya. dan pada saat persipan pembentukan teks Proklamasi, disana hadir pimpinan pemuda dan anggota PPKI tak seorang jepangpun yang hadir dalam pertemuan tersebut.

3. Gerakan mahasiswa era orba hingga reformasi 1998


Masuknya ribuan investasi dari pemodal asing di Indonesia (sejak 1957—bahkan dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing) yang pada akhirnya justru menimbulkan suatu sistem penindasan yang sungguh amat sangat luar biasa sekali bagi rakyat Indonesia. Pembangunan fisik berupa bangunan-bangunan monumental ramai digalakkan. Sementara itu, kehidupan perekonomian masyarakat memperlihatkan gejala ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’ dalam kasus yang sangat memprihatinkan. Harga sembako membludak, kelaparan terjadi dimana-mana.  Keadaan perekonomian di tanah air kian tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi ekonomi pada sekitar dekade 60-an yang semakin parah saja. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang justru semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia. Inflasi meningkat tajam. Mahasiswa juga mengalami tragedi semacam ini, hanya saja kodratnya sebagai pemuda intelektual menuntut untuk bertindak lebih realis dan tegas pada pemerintah daripada rakyat yang hanya bisa diam. Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan menuntut Tritura. Para mahasiswa saling menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) di barisan paling depan. Sebagai bentuk tidak puas terhadap pemerintah. Aksi tersebut dalam sekejap segera memperolah dukungan dari berbagai partai politik dan organisasi-organisai massa bahkan militer juga membentuk aliansi mahasiswa-militer.
Peristiwa 15 januarai 1974 atau dikenal dengan peristiwa Malari dapat dilihat dari perspektif. Penentangan mahasiswa dengan demonstrasi untuk menentang modal asing, khususnya modal asing jepang, Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1978  setelah gerakan angkatan 1966 dengan 1974, mulai meredup karena telah mulai banyaknya peraturan pemerintahan yang mengikat dunia kemahasiswaan diantaranya penyeragaman ideologi melalui TAP MPR no,II/MPR/1978 diberlakukan penataran P4 dengan metode indoktrinasi. serta peraturan lainya yang terkait dengan kebijakan kampus seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata). Tapi saat tahun 1978 mahasiswa mulai mengetahui ada yang dipaksaan pada pemerintahan saat itu. Karakteristik mahasiswa tahun 1978 mereka melakukan aksi protes dengan banyaknya batasan-batasan sehubungan dengan kebijakan pemrintah, dipertegas lagi oleh kabar dari senayan bahwa Suharto bakal dipilih lagi menjadi presiden RI. Bertepatan dengan hal itu DPRD Jawa Barat membuat pernyataan pencalonan kembali Suharto sebagai presiden RI. Mendengar itu, kurang lebih 1000 mahasiswa ITB turun ke jalan. Pada 16 Januari 1978 mereka mengadakan apel siaga mengenai pernyataan sikap mahasiswa ITB tidak mengingginkan Suharto kembali menjadi presiden RI. Aksi mahasiwa merambah ke kota besar lain, seperti Yogyakarta, dan Surabaya. Jelas aksi gerakan mahasiswa 1978 menggoyahkan kemapanan pemerintahan orde baru. Walaupun begitu tetap akhirnya gerakan ini digagal kan kerena memang skupnya masih dalam sekala terbatas.
Gerakan masa Setelah gerakan 1978 mulai dibendung oleh pemerintah dengan banyaknya peraturan mengenai kehidupan kampus serta pergerakanya seperti semenjak ada peraturan bahwa peran dari setiap kelembagaan mahasiswa setelah dibentuknya KNPI tahun 1973 yang menyatakan semua organisasi ekstrakampus harus bernaung dibawah KNPI di kontrol oleh Menpora , kemudian hambatan pergerakan ditahun ini diberlakukanya Dewan mahasiswa sejak 28 januari 1978 yang melumpuhkan Ormawa ditingkat universitas maupun nasional, kebijakan ini sesuai dengan instruksi mendikbud No.01/U/1978 dan SK Mendikbud 07/U/1979, yang menghapuskan DM dewan mahasiswa serta membatasi kegiatan kemahasiswaan hanya dalam bidang kesejahteraan , rekreasi serta kegiatan kegiatan akademik serta intelektual. Kemudian pada puncak nya dengan di berlakukanya NKK/BKK Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan Kordinasi Kemahasiswaan,yang lebih banyak bermuatan politis dari pada edukatif , dalam hal ini proses penertiban terhadap mahasiswa sampai dua dekade berikutnya tidak menglami masalah. Dengan ketetapan SK MENDIKBUD No.0156/U/78, pada intinya peraturan ini melarang segala macam bentuk politik serta mengaplikasikanya yang diperbolehkan hanya perbincanganya tanpa aksi langsung ke lapangan, kemudian dirgen pendidikan tinggi juga menginstruksikan semua aktivitas kemahasiswaan dibawah pembantu Rektor 3 dibantu dekan 3, pemberlakukan NKK/BKK juga menimbulkan fenomena Militerisasi kampus, jadi semenjak tahun 1980 sampai 1990-an mahasiswa dijauhkan kepada rakyat karena berbagai keputusan tersebut maka di jenjang tahun tersebut timbulah diskusi – diskusi yang terbangun disetiap kampus. Serta dalam aspek keadaan sosial ekonomi di indonesia berjalan dengan baik tanpa masalah di mata rakyat yang tanpa di sadari oleh rakyat pemimpin yang sedang berkuasa selalu menutup kekurangan pembangunan dengan pimjaman luas negri. 
Gerakan Mahasiswa 1998, gerakan ini terkenal sebagai gerakan perubah tatanan pemerintahan dari yang diktaktor pribadi ke araH revormis, penurunan Soeharto bersama rezimnya ORBA membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap keadaan kehidupan politik sosial , budaya, gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil meruntuhkan rezim orde baru merupakan kumpulan dari semua kekecewaan dan ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah. Kekecewaan dan ketidakpuasan tersebut ahirnya membuncak setelah 32 tahun menjbat dan terjadilah gerakan mahasiswa 1998 yang mengusung agenda reformasi. Terdapat Karakteristik gerakan mahasiswa 1998 yang berbeda dengan angkatan sebelumnya yaitu mereka berani Menerobos pagar kampus, Menolak bantuan ABRI, adanya persamaan tujuan yaitu Reformasi. Tujuan dari gerakan mahasiswa 1998 yaitu ingin menurunkan rezim orde baru karena telah berbuat kehancuran Negara yang sangat signifikan serta banyak penyelewengan dalam berbagai aspek dalam menjalankan pemerintahanya selama beberapa dekade terakhir.
Perjuangan mahasiswa 1998 dimulai saat kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang mengalami krisis moneter serta telah adanya keputusan bahwa soeharto menjabat lagi untuk lima tahun mendatang disampaing itu semua elemen yang menentang kediktaktoran dari soeharto turun kejalan untuk menyeruarakan revormasi Kondisi social politik yang brkecamuk saat itu sangat amburadul dengan banyaknya terjadi kerusuhan di berbagai tempat, pembakaran , penjarahan bahwan pemerkosaan terhadap orang–orang keturunan tionghoa, situasi menjadi kacau balau , sampai puncaknya terjadi Tragedi semanggi I dan II dimana dalam tragedi tersebut menewaskan 4 mahasiswa Trisakti yang ditembak oleh aparat keamanan dan puluhan mahasiswa yang terluka . Mahasiswa juga sempat menduduki dan menyandera gedung MPR/DPR selama 2 hari. Namun hasil dari jerih payah dan pengorbanan mahasiswa terbayar lunas ketika pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden dan menyerahkannya kekuasaannya kepada B.J. Habibie. Tetapi pergerakan mahasiswa tidak hanya berhenti sampai Saat itu setelah masa kekuasaan selanjutnya mahasiswa masih terus bergerak melawan penyelewengan serta penindasan rakyat. tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan Negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan saat itu, maka sekaligus menandai lahirnya generasi 1945 dalam sejarah Indonesia.

4. Gerakan mahasiswa pasca reformasi hingga kini


Sejak awal berdirinya, gerakan mahasiswa sudah terbagi dalam dua aliansi yaitu, kanan dan kiri. Aliansi kanan cenderung berdasar pada nilai-nilai agama dan moralitas sehingga meskipun melakukan gerakan besar-besaran, namun tetap rapih dan tertata. Sedangkan gerakan kiri cenderung mengusung nilai-nilai revolusi yang memaklumkan adanya korban jiwa di dalamnya. Jika isu yang diusung sama, maka akan melakukan pergerakan yang sama meski dengan modelnya masing-masing. Yang membedakan dari tiap gerakan adalah dominasinya, jika didominasi gerakan kanan, maka kecenderungan akan rusuh dan memakan korban akan sangatlah kecil. Sebaliknya, jika pergerakan didominasi aliansi kiri, maka siap-siaplah dengan sejumlah korban jiwa yang bergelimpangan.
Yang terjadi pada era ’98 adalah bersatunya berbagai model pergerakan mahasiswa sehingga ada yang tertata rapih dan ada yang rusuh. Beruntung, kondisi saat itu didukung oleh salah satu tokoh gerakan kanan, Amien Rais, sehingga pergerakan menjadi terarah. Mahasiswa pun berjanji akan terus mengawal reformasi dengan 6 visinya: amandemen konstitusi, cabut dwi fungsi TNI, penegakkan supremasi hukum, otonomi daerah, budayakan demokrasi, serta mengadili Soeharto dan kroninya. Sayang, ternyata 6 visi reformasi ini tidak berjalan semulus yang diangankan. Hingga kini, penegakkan supremasi hukum dan mengadili Soeharto dan kroninya belum tercapai (bahkan berubah menjadi memaafkan seiring dengan kian maraknya prilaku yang lebih busuk darinya).
Perjalananan mahasiswa mengawal 6 visi reformasi ternyata juga tidak semulus yang dibayangkan karena dari sinilah salah satu partai politik mulai melakukan kaderisasinya dengan pengakaran melalui pembentukan jaringan dari skala besar (kampus/wilayah/provinsi) hingga ke skala kecil (lingkup jurusan dan angkatan). Saat partai politik tersebut masih berskala partai gurem, segala aspirasi yang disampaikan melalui pergerakan mahasiswa masih berkisar pada kepentingan rakyat sehingga pergerakan mahasiswa masih terasa massif dan jaringan yang dibentuk diamini sebagian besar mahasiswa.
Namun kondisi berbeda terjadi ketika partai politik tersebut sudah menjadi partai besar yang berkoalisi dengan partai penguasa negeri. Pergerakan pun sedikit demi sedikit mulai dikurangi porsinya. Mahasiswa yang telanjur menjadi kader parpol tersebut praktis mengikuti apa pun yang disampaikan dewan syuro parpol terkait. Sebaliknya, mahasiswa yang telanjur terbiasa menyuarakan hati nurani rakyat terpaksa didepak dari kaderisasi hingga pada 2003 terjadi perpecahan pergerakan mahasiswa aliansi kanan. Gerakan mahasiswa kanan yang terpecah ini sama sekali tidak kuat karena berjalan dengan visi-misnya masing-masing.
Saat aktivis BEM 2002-2003 sudah mempunyai BEM Se-Indonesia (SI), aktivis BEM 2003-2004 justru menandinginya dengan BEM SE-Jabodetabek. Dari sisi masa dan pengalaman, kekuatan BEM Se-Jabodetabek masih sangat jauh dari BEM SI. Hanya saja, karena terjadi di masa BEM 2003-2004, praktis legalitas BEM 2002-2003 sudah tidak diakui yang menyebabkan dukungan terhadap aktivitas pergerakannya kian surut. Kondisi era 2004-2008 adalah kondisi dimana pergerakan mahasiswa sudah benar-benar kehilangan ruhnya. Bahkan pergerakan terakhir yang mereka lakukan hanyalah bersifat seremonial, yaitu peringatan 10 tahun reformasi.
Kondisi kosongnya pergerakan mahasiswa menjadi celah yang membuka peluang bagi pergerakan beraliansi kiri yang sebelumnya selalu terpinggirkan untuk masuk ke dalam BEM dan membentuk BEM SI baru. Pada era ’98 gerakan ini menamakan dirinya sebagai Forkot dan FRD. Dan karena pada era tersebut gerakan kiri ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, maka pada era 2000-an awal hingga kini mereka berganti nama menjadi FAM dan FMN. Sudah banyak yang tau bahwa gerakan mereka biasanya kurang terprogram hingga tidak jelas mau dibawa ke mana arah pergerakannya. Bahkan sering terdengar selentingan bahwa sumber pendanaan pergerakannya berasal dari pihak-pihak yang menggerakannya.
Dan momen rencana kenaikan BBM bersubsidi pada awal April adalah momen kembalinya munculnya pergerakan mahasiswa yang sayangnya justru dari aliansi kiri. Maka jangan heran dengan model aksi mereka yang rusuh dan memakan korban karena ini sesuai dengan nilai revolusi yang diusungnya. Nama mahasiswa pun tercoreng. Sayangnya, gerakan kanan sudah telanjur memiliki kontrak politik terhadap partai yang saat ini berkoalaisi dengan partai penguasa hingga suara gerakan kanan pun nyaris tak terdengar.
Mahasiswa sebagai generasi penentu bangsa adalah sosok yang tidak bisa dipisahkan dari perubahan bangsa, pergerakannya selalu memiliki arti tertentu dalah arah kebijakan. Demo-demo yang dilakukan setidaknya hanya sebagian kecil dari aksi menuju perubahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Ketika Dewan Perwakilan Rakyat yang kita sebut sebagai wakil rakyat sudah tidak bisa mewakilkan rakyat lagi, disini muncul sosok mahasiswa yang menyuarakan kembali bagaimana suara dan jeritan rakyat yang selama ini hanya terlindas begitu saja oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang disibukkan oleh urusan korup uang negara.
Organinasi oleh mahasiswa yang berjalan sekarang justru ternodai oleh kepentingan elit sehingga pikiran-pikiran positif untuk membentuk suatu perubahan terkontaminasi oleh kuasa politik. Padahal harapan terbesar bangsa ini ada pada mahasiswa.  
Apapun itu persoalannya, apalagi yang baru saja menyandang predikat maha- pada statusnya sebelumnya yaitu siswa, sangat diharapkan untuk menanam nilai-nilai moral yang baik dengan hati nurani untuk berjalan dan mengarungi langkah-langkahnya dalam menghadapi persoalan bangsa sampai pada puncaknya menggantikan posisi pemimpin bangsa.  

Ketika itu Taufik Ismail berpidato ketika ospek UGM 2012 di lapangan pancasila, GSP. Beliau berulang-ulang kali memekikkan kalimat "Jangan Ikuti Generasi Ku" dengan disambut oleh 9000 mahasiswa dengan tegas dan penuh keyakinan menjawab "Tidak Akan!" Betapa kita masih punya harapan untuk mahasiswa sebagai iron stock, agen of change dan social control untuk bangsa kita, bangsa Indonesia yang masih begantung untuk menumpukan harapan pada mahasiswa.





0 komentar: